SPIRITUALITAS MELAYANI: Spiritualitas Peziarah *)
Pdt. Stefanus Christian Haryono, MACF
“Jika karya kami hanya sebatas memandikan dan memberi makan serta mengobati orang-orang sakit, pusat pelayanan kami ini mungkin sudah sejak lama ditutup. Karena kami tidak tahan,
namun apa yang kami lakukan adalah untuk Kristus sendiri.
Hal yang paling penting dalam pusat pelayanan kami adalah
tersedianya kesempatan untuk menggapai dan menyentuh jiwa-jiwa.”
Refleksi Mother Teresa dari pengalaman karyanya selama hampir 50 tahun di Calcutta, India tersebut di atas setidaknya ada tiga hal pokok yang terkandung didalamnya yaitu pelayanan bukanlah sekedar tindakan, pelayanan menyentuh pada tataran relasi yang dimungkinkannya penyembuhan dan pertumbuhan bagi orang yang dilayani dalam peziarahan hidup bersama antara yang melayani dan yang dilayani, dan pelayanan menjadi kudus karena berporos pada Kristus. Refleksi yang melahirkan sebuah spiritualitas pelayanan kontekstual, dalam sebuah formula: ”Aku haus!”
Spiritualitas: semangat yang menggerakkan
Philip Sheldrake dalam bukunya yang berjudul Spirituality and History mengatakan, “I would suggest that what the word ‘spirituality’ seeks to express is the conscious human response to God that is both personal and ecclesial. In short: ‘life in the Spirit’.” Apabila dikaji secara etimologi, kata “spiritualitas” berasal dari bahasa Latin spiritus artinya roh, jiwa atau semangat, ini memiliki padanan arti dengan bahasa Ibrani: ruach atau bahasa Yunani: pneuma yang berarti angin atau nafas. Yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai ‘semangat yang menggerakkan’.
Kata spiritualitas merupakan suatu kata yang bersifat universal karena bisa digunakan oleh semua agama karena spiritualitas itu sendiri merupakan saripati religius yang ada dibalik ajaran atau aturan-aturan formal agama. Sebaliknya, dalam penghayatan spiritualitas, ajaran atau dogma atau doktrin suatu agama hanyalah menjadi pijakan semata sehingga dogma bukanlah merupakan hal terakhir, melainkan selanjutnya bagaimana seseorang dapat mengalami perjumpaan dengan Yang Illahi.
Spiritualitas memiliki daya untuk mendorong, memotivasi, menghidupkan dan menumbuhkan akan menjadikan seseorang memiliki keselarasan antara apa yang diimani dan yang dilakukan dalam relasinya dengan sesama dan dunia secara konkrit. Dalam konteks kekristenan, spiritualitas terkait erat dengan Yesus Kristus melalui kehidupan dan karyaNya bukan hanya pengajaranNya. Dengan demikian kita patut senantiasa mendengar ajakan Yesus, “Ikutlah Aku!” sebagai jalan hidup murid-muridNya.
*) disampaikan pada Konven Pendeta Sinode GPIB, tanggal 21 Februari 2012 di Hotel Danau Toba, Medan.
Pelayan sebagai peziarah
Spiritualitas merupakan kapasitas seseorang terkait dengan pemberian (hadir) melalui pengetahuan dan cinta. Di sinilah hati menjadi poros dalam mengambil keputusan, bakti, intensitas yang mencerminkan totalitas sebagai pribadi. “Love is the reason for my life”, kata Mother Teresa. Dengan demikian pelayanan (apapun bentuk pelayanan itu mewujud) bukan hanya suatu dorongan manusiawi namun lebih dari itu suatu rahmat, anugerah Allah yang diterima, dialami dan dibagikan. Pelayanan akan menjadi pengalaman iman manakala kita menyadari sebagaimana Brother David Steindal-Rast katakan bahwa ’mata hanya melihat terang, telingan hanya mendengar suara, tetapi hati yang mendengar yang akan menemukan makna.’
Spiritualitas yang berkaitan erat dengan pengalaman hidup orang beriman tidaklah bersifat statis, melainkan dinamis. Spiritualitas bukanlah pemahaman abstrak atas rumusan-rumusan iman melainkan menyangkut laku seseorang sebagai peziarah (a pilgrim) dalam menerima, merefleksikan dan menanggapi Allah. Spiritualitas sebagai a way of being and living. Untuk menuju pada tataran ini, patut disadari bahwa kehidupan spiritual mengundang seseorang untuk menapaki proses transformasi sepanjang kehidupannya. Sebuah proses yang didalamnya mengandung tantangan, perubahan dan kematangan seseorang sebagaimana rasul Paulus katakan, ”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).
Peziarahan seorang pelayan bukanlah di padang gurun melainkan ditengah gurun dunia dengan segala hiruk pikuknya. Tak terkecuali, seorang pelayan juga mengalami kebisingan hidup yang sangat berpengaruh bagi pelayanannya. Hidup di zaman modern tanpa disertai keheningan akan menjadikan kehidupan mudah rontok karena “silence is life’s greatest teacher” sebagaimana ditegaskan oleh Joan Chittister. Keheningan tidak selalu berarti suatu tempat ketenangan dan kedamaian. Keheningan bisa juga permulaan pergolakan. Keheningan bisa jadi tempat di mana kita berhadapan (bahkan berkonfrontasi) dengan diri sendiri dan kepedihan kita. Di sana dibutuhkan keterbukaan dan kejujuran yang oleh Henri Nouwen sebutkan bahwa keheningan adalah lahan dimana transformasi terjadi.
Olah bathin sang peziarah
Bagi seorang peziarah, spiritualitas dihayati sebagai (1) jalan hidup (a way of life). Injil banyak mengisahkan tentang jalan ketika mengurai relasi Yesus dengan para murid (Mat 7:13-14; Mrk 10:52) bahkan Yesus sendiri menegaskan metafor diriNya sebagai ’Jalan’ (Yoh 14:6). Penggambaran tentang perjalanan di Perjanjian Baru berakar pada kisah perjalanan menuju tanah Kanaan. Perjalanan yang penuh dengan perjuangan dan tantangan hidup tersebut patut disertai disiplin / latihan spiritual (spiritual discipline / exercise) atau asketis (Yunani, askesis: ’disiplin’) sebagai upaya dari pihak manusia. Suatu istilah yang terkesan kaku dan memaksa, namun jika dilihat dari etimologinya, disiplin mengandung arti “mengikuti dengan sukarela.”
Disiplin spiritual inilah yang menolong seseorang untuk secara berkesinambungan akan mengalami perkembangan spiritualitasnya. Ibaratnya seperti seorang pelukis atau olahragawan membutuhkan latihan. Setiap disiplin spiritual membawa seseorang pada relasi dengan memberikan “ruang” bagi Roh Allah untuk mengajar (Yohanes 16:13). Karena di dalam kasih Allah terkandung kehausan Allah sendiri untuk menjalin relasi dengan manusia. Disiplin spiritual bermuara pada menghayati kehadiran Tuhan dalam seluruh kehidupan maka disiplin spiritual menolong seseorang untuk mengalami perkembangan kepekaan dalam kehidupan sesehari. Dengan demikian kehidupan spiritualitas seseorang akan menjadi “holistik“.
Disiplin spiritual akan membuat kita peka terhadap sapaan Allah yang lirih dan lembut. Adapun bentuk-bentuk disiplin spiritual mengalami perkembangan dari zaman ke zaman sehingga muncul keragaman yang kesemuanya itu sangat bermanfaat bagi pengembangan spiritualitas. Disiplin spiritual tidak sakral dan bukan tujuan namun menolong kita mendaptkan energi untuk meneruskan peziarahan.
(2) Pemuridan (discipleship). Panggilan hidup seorang peziarah adalah menjadi murid. Sebuah panggilan yang berkelanjutan sepanjang kehidupan sebagai murid dan Kristus sebagai Sang Guru. Kata ‘murid’ (disciple; Yun: mathetes) muncul sebanyak lebih dari dua ratus enampuluh kali dalam Perjanjian Baru dan khususnya dalam Injil sebanyak tujuh puluh kali. Kata ‘murid’ memiliki kaitan erat dengan kata ‘mengikut’ (to follow). Menjadi murid merupakan undangan yang berisikan anugerah dari Kristus yang membutuhkan tanggapan manusia yang terpanggil (Mat 4: 18-22; Mark 1: 16-20; Luk 5: 1-11). Panggilan untuk menjadi murid tidak berhenti pada panggilan itu an sich melainkan teraktualisasi melalui penghayatan hidup yang mewartakan Kerajaan Allah (Luk 10: 2-12), dan kesediaan berbagi kehidupan bahkan dengan musuh sekalipun (Luk 6: 27-36).
Menjadi murid Kristus bukan soal status sebagai sebuah keutamaan melainkan sebuah keintiman relasi yang melahirkan mimesis padaNya. Pemuridan menjadi penghayatan para peziarah sepanjang abad dan melintasi batas-batas denominasi seperti:
a. Meister Eckhart, mistikus Jerman abad XIII, menekankan bahwa seorang murid Kristus penting memiliki hati yang mendengar (a listening heart). “Allah tidak menghendaki apa-apa selain sebuah hati yang dalam keheningan melepaskan dirinya dari segala sesuatu dan berbalik serta mendengarkan Allah.”
b. Hans Denck, bapa gereja Anabaptist-Mennonite abad XVI, mengatakan, ”Seseorang tidak akan pernah benar-benar mengenal Kristus kecuali ia mengikutiNya dalam hidupnya.”
c. Dietrich Bonhoeffer, pendeta Lutheran Jerman abad XIX, mengungkapkan, “Christianity without the living Christ is inevitability Christianity without discipleship, and Christianity without discipleship is always Christianity without Christ.”
d. Johannes B. Metz, theolog abad XX, menjabarkan, “ Mengikuti Kristus bukan hanya sebuah tempelan dari Kristologi gereja bagi kehidupan kita; praktek mengikuti Kristus itu sendiri adalah bagian pusat dari Kristologi.”
(3) Pemuridan yang diteladankan Yesus adalah pemuridan yang lahir dari sebuah tanggapan personal untuk kehidupan komunal. Komunitas menjadi tempat untuk kesediaan berbagi seiring dengan etimologi: communio (Latin) yang berarti ‘berbagi’. Dalam kebersamaan itulah, pribadi-pribadi dalam komunitas dapat menghayati bahwa hidup ini bukan sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan anugerah yang patut untuk dibagikan. Komunitas adalah dihidupinya sense of belonging sehingga dimungkinkanya membangun keterbukaan, kepedulian dan kerjasama. Komunitas menjadi tempat keterbatasan, ketakutan dan egoisme disingkirkan (Roma 12: 15) kemudian menjadi tempat penyembuhan dan pertumbuhan. (I Kor 12: 12-31). Penemuan diri personal justru ada di dalam komunitas. Ungkapan Dietrich Bonhoeffer berikut patut untuk direnungkan, “Orang yang mencintai komunitas, menghancurkan komunitas; orang yang mencintai saudara-saudarinya, membangun komunitas.”
Sebagai peziarah, kita yang adalah pelayan tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan kita berarak-arakan. Dalam arak-arakan di sana ada keberanian merengkuh untuk kelemahan dan merentang untuk kekuatan bersama. Kolegialitasan sebagai pelayan patut dimaknai secara mendalam, lebih dari sekedar hanya dari kebersamaan bertoga dan berstolla.
Aksi & Kontemplasi
Dari uraian di atas, nampaklah sekarang bahwa spiritualitas melayani bukan pertama-tama terletak pada metode, strategi pelayanan sekalipun itu tidak dapat diabaikan. Namun spiritualitas melayani terletak dalam diri sang pelayan itu sendiri. Sekiranya menjadi gamblang bahwa anggapan kata “melayani” merupakan kata yang ’sakral’ dan ‘mulia’ karena dikaitkan dengan pengabdian dan pemberian diri. Terintegrasi pada diri sang pelayan.
Pelayanan pertama-tama bukanlah tindakan atau aksi semata melainkan berawal dari kehidupan kontemplatif, permenungan mendalam. Hidup kontemplatif merupakan inti dari sebuah proses hidup dengan “mengalami kairos.” Disitulah Allah berkarya dari dalam diri pelayan kristiani dalam menanggapi panggilan pelayanan. Pelayanan bukan hanya merupakan aksi melainkan juga merupakan kontemplasi. Tanpa kontemplasi, pelayanan menjadi kering dan hanya jatuh pada aktivis belaka. Pelayanan sebagai sebuah aksi yang dilandasi kontemplasi akan menghantar pada kepemimpinan mistik sebagaimana rasul Paulus katakan: ”Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati” (Filipi 3:10-11).
Mistik yang berintikan keintiman cinta akan membawa seseorang pada mistik pelayanan. Keintiman dengan Tuhan bukan untuk dinikmati sendiri melainkan dibagikan. Semakin dibagikan buahnya semakin subur, sebaliknya buah yang subur itu akan semakin mengukuhkan dan mengakarkan kesatuan aku dengan Sang Aku. Hal ini menjadikan jalan bathin dan jalan pelayanan senantiasa berjalan seiring.
“Tuhan, jika Saya beribadah ini karena Saya ingin mendapatkan sorga, jauhkanlah Saya dari sorga. Jika Saya beribadah ini karena Saya ingin dijauhkan dari neraka, maka masukkan Saya ke dalam neraka, tetapi jika amal perbuatan Saya ini Saya lakukan karena cintaku padaMu, maka terimalah cintaku kepadaMu.”
(Doa Rubiah Al-Adawiyah, Sufi Abad Pertengahan)
Akhirnya, dalam menghayati spiritualitas melayani, marilah kita sebagai para pendeta merenungkan apa yang diwariskan oleh Mother Teresa demikian:
Biarkan TUHAN Menilaimu
Terkadang orang berpikir secara tidak masuk akal dan bersikap egois.
Tetapi, bagaimanapun juga, terimalah mereka apa adanya.
Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka
bahwa ada maksud-maksud buruk di balik perbuatan baik yang kau lakukan itu.
Tetapi, tetaplah berbuat baik selalu.
Apabila engkau sukses, engkau mungkin akan mempunyai musuh dan juga
teman-teman yang iri hati atau cemburu.
Tetapi teruskanlah kesuksesanmu itu.
Apabila engkau jujur dan terbuka, orang lain mungkin akan menipumu.
Tetapi, tetaplah bersikap jujur dan terbuka setiap saat.
Apa yang telah kau bangun bertahun-tahun lamanya,
dapat dihancurkan orang dalam satu malam saja.
Tetapi, janganlah berhenti, dan tetaplah membangun.
Apabila engkau menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati,
orang lain mungkin akan iri hati kepadamu.
Tetapi, tetaplah berbahagia.
Kebaikan yang kau lakukan hari ini, mungkin besok akan dilupakan orang.
Tetapi, teruslah berbuat baik.
Berikan yang terbaik dari apa yang kaumiliki, dan itu mungkin tidak akan pernah cukup.
Tetapi, tetap berikanlah yang terbaik.
Sadarilah bahwa semuanya itu ada di antara engkau dan Tuhan.
Tidak akan pernah ada antara engkau dan orang lain.
Jangan pedulikan apa yang orang lain pikir atas perbuatan baik yang kau lakukan.
Tetapi, percayalah bahwa mata Tuhan tertuju pada orang-orang yang jujur,
dan Dia dapat melihat ketulusan hatimu.
Mother Teresa
Ngajogjakarta Hadiningrat, sehari menyongsong Rabu Abu 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar